1001indonesia.net – Gagasan bahwa dunia selalu berada di bawah bangsa-bangsa lain mengalami koreksi besar, salah satunya dengan terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 yang menghasilkan Dasasila Bandung.
Konferensi ini mencerminkan sikap terbuka dan optimis para pendiri bangsa yang melihat kerja sama adalah jalan yang perlu ditempuh, dan bangsa-bangsa perlu terus memperjuangkan emansipasi dengan kerja sama ini.
Jauh dari nasionalisme sempit yang menganggap satu bangsa sebagai cukup dan mampu tanpa harus bekerja sama dengan bangsa lain, Konferensi Asia Afrika menekankan suatu evolusi emansipasi yang dapat dikembangkan dalam perjalanan hidup suatu bangsa, dengan cara yang saling menumbuhkan dan bukan dengan pertumpahan darah.
Pada perjalanan sejarah, pendukung konferensi ini kemudian membentuk suatu inisiatif yang tidak mau terjebak dalam dunia bipolar (‘barat-timur’), melainkan secara terbuka membuka jalan baru, sekaligus merangkul jalan-jalan yang sudah ada. Gerakan non-blok dikenal dalam membuka halangan-halangan ideologi dalam interaksi bangsa-bangsa.
Saat ini, dari momentum sejarah, terus tumbuh inisiatif yang membentuk kerja sama antarbangsa, salah satunya dengan G-77 (atau kelompok negara berkembang yang mengembangkan ragam kerja sama antar-negara selatan). Dalam upaya-upaya melalui proses formal PBB, G77, dan juga NAM (non-aligned movement) menjadi suara dari upaya kerja sama ini.
Peran serta Indonesia di kancah internasional telah terbukti sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Sebagai negara yang baru merdeka, bangsa ini giat menjadi pionir membela negara-negara lain yang belum lepas dari penjajahan bangsa asing.
Salah satu peran sentral Indonesia di kancah internasional adalah menjadi pemrakarsa dan penyelenggara Konferensi Asia Afrika. Sebuah konferensi negara-negara yang menolak kolonialisme dan juga menolak menjadi bagian dari salah satu kubu negara besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Memang di masa akhir Perang Dunia II, perebutan kekuasaan antara negara adidaya Amerika dan Uni Soviet memang memanas. Gengsi untuk mendapatkan negara-negara sekutu menyeruak setelah keberhasilan mereka mengalahkan negara-negara fasis. Dunia pun seolah terbagi dua, Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis.
Sementara itu, negara-negara di Asia dan Afrika muncul rasa nasionalisme yang cukup tinggi untuk merdeka dan tidak mau menjadi bagian dari dua kekuatan ideologi besar yang ada tersebut.
Sejak pertengahan dekade 1940-an, negara-negara di Asia telah banyak yang lepas dari penjajahan bangsa Eropa, antara lain Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat China (1 Oktober 1949). Namun demikian, negara-negara Afrika masih banyak yang dijajah bangsa Eropa.
Ide untuk melaksanakan Konferensi Asia Afrika ini sebenarnya datang dari presiden pertama Indonesia, Sukarno. Saat itu, ia memerintahkan Ali Sastroamidjojo, yang sedang mengikuti konferensi Kolombo (28 April–2 Mei 1954), untuk mengusulkan pertemuan membangun solidaritas Asia Afrika melalui pergerakan bersama melawan penjajahan. Usulan tersebut kemudian disambut baik oleh negara-negara yang sedang melaksanakan konferensi di Kolombo.
Pada 28–29 Desember 1954, melalui Perdana Menteri Indonesia, para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan) diundang untuk mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika. Dalam pertemuan itu dibahas dan disepakati agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia Afrika. Acara konferensi pun disepakati Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara pada April tahun 1955.
Presiden Sukarno kemudian menunjuk Kota Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Untuk lebih menciptakan aura yang menunjang konferensi negara-negara di Asia dan Afrika itu, pada tanggal 7 April 1955, Bung Karno mengganti nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwiwarna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika.
Konferensi ini pun diikuti oleh 29 negara dari benua Asia dan benua Afrika, yaitu Afghanistan,Indonesia, Pakistan, Birma, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon (Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Tiongkok, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Libanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas (Ghana), Libya, India, Nepal, Yaman.
Pada 18 April 1955, pada pukul 10.20 WIB, di Gedung Merdeka dikumandangkan lagu Indonesia Raya sebagai pembuka konferensi dan dilanjutkan dengan pidato pembuka berjudul “Let a New Asia and a New Africa be Born” oleh Bung Karno. Sebuah pidato yang menggugah para peserta yang hadir. Ketika mengakhiri pidatonya, bung Karno mengatakan:
“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian.”
Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!
Dalam pidato tersebut, Bung Karno menegaskan bahwa pengalaman pahit akibat kolonialisme dan keinginan untuk mencapai perdamaian di dunia dapat menyatukan semua negara-negara peserta yang berasal dari berbagai bangsa dengan latar belakang budaya,warna kulit, agama, sistem politik yang berbeda-beda.
Keberhasilan Konferensi ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai DASA SILA BANDUNG, sebuah pernyataan dan komitmen politik untuk memajukan kerja sama antar negara dan mengusahakan perdamaian dunia. Berikut adalah isi dari Dasa Sila tersebut.
- Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
- Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
- Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
- (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun. (b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
- Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
- Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, persetujuan, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
- Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
- Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
Konferensi Asia Afrika telah mengubah kekuatan dunia, yang dulunya hanya memandang dua kubu Barat dan Timur, kini terdapat kekuatan ketiga. Sebuah kekuatan yang tidak memihak baik pada negara Barat atau Timur (nonblok).
Di dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun, kekuatan ketiga yang berisi negara-negara non-blok ikut diperhitungkan dan tidak hanya menjadi penonton bagi blok Barat dan Timur. (ed)