1001indonesia.net – “Bung, hari gini masih percaya yang begituan!” Demikian respons yang didapat seorang teman asal Maluku kala ia memasang sesajian sirih-pinang di tempat ia berkegiatan.
Sirih-pinang, entah itu sebagai “makanan”, sebagai obat, ataupun sebagai bagian dari sarana ritual, telah digunakan masyarakat Kepulauan Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Konon, sirih dan pinang sendiri merupakan tanaman asli Indonesia.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah masih relevankah tradisi sirih-pinang dijalankan sampai saat ini? Selain sebagai upaya untuk meneruskan tradisi leluhur, apakah ada maknanya mempersembahkan sesajian sirih-pinang bagi orang sekarang? Jika saya tidak salah, sebenarnya itulah yang menjadi inti persoalan mengapa teman saya mendapat respons demikian.
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk direnungkan jika kita ingin tradisi leluhur bisa diterima masyarakat luas. Sebab, sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk takut dan anti terhadap sesuatu yang tidak dikenalnya. Manusia cenderung takut terhadap sesuatu yang asing baginya.
Itu sebabnya, menjelaskan dengan baik dalam kerangka pikir dan konteks kehidupan orang sekarang menjadi hal yang tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang ingin agar tradisi leluhur tetap lestari.
Harus disadari, generasi sekarang banyak yang mengalami keterputusan dengan tradisi leluhur mereka. Jadi, persoalan utamanya bukan bagaimana mengajak generasi muda untuk menjalankan tradisi leluhur, sesuatu yang sangat mungkin sama sekali tidak mereka mengerti.
Namun, bagaimana para penerus tradisi leluhur ini mampu menjelaskan makna di balik tradisi-tradisi tersebut pada generasi muda sehingga mereka memahami mengapa tradisi-tradisi tersebut dan nilai-nilai yang dikandungnya penting untuk dilestarikan.
Dengan cara ini, generasi sekarang akan lebih mengenal dan menghargai tradisi leluhur, terlepas apakah mereka masih memegangnya ataupun tidak.
Selain itu, dengan memahami makna sebuah tradisi secara mendalam, kita bisa mencari titik temu antara tradisi yang berasal dari masa lampau dan konteks kehidupan yang kita hadapi sekarang.
Bukan hal yang aneh sebenarnya jika sebuah tradisi hilang ditelan waktu atau menjadi tidak lagi relevan seiring perkembangan zaman. Namun, umumnya dalam tradisi terkandung nilai-nilai universal yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Nilai-nilai kearifan inilah yang perlu digali dan diungkapkan kepada generasi sekarang sehingga mereka lebih memahami pentingnya tradisi leluhur.
Selain itu, bukankah kita memahami tradisi sebagai warisan leluhur, sebuah kekayaan yang sangat berharga sehingga perlu kita jaga? Sebagai sesuatu hal yang berharga maka sudah seharusnya warisan tersebut menguatkan kapasitas kita sebagai manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kita hadapi di masa ini.
Jadi apa sih yang bisa kita pelajari dari tradisi sirih-pinang?
Untuk memahami makna tradisi sirih-pinang, kita perlu memahami bagaimana kedudukannya dalam masyarakat Nusantara. Seperti yang diulas dalam tulisan sebelumnya, sirih-pinang digunakan sebagai “makanan”, obat, dan perlengkapan upacara adat oleh masyarakat Asia Tenggara sejak dulu.
Sirih-pinang pernah menjadi makanan yang sangat populer. Masyarakat Nusantara, baik yang tua maupun muda, laki maupun perempuan, rakyat jelata maupun kaum bangsawan, semua menyirih.
Baca juga: Sirih dalam Budaya Jawa: Sebagai Makanan, obat, dan Uborampe Upacara Adat
Di masa lalu, sirih-pinang digunakan sebagai makanan beramah-tamah. Fungsinya seperti teh, kopi, dan rokok pada zaman sekarang. Ketika bertemu orang lain atau saat tamu berkunjung maka sirihlah yang pertama disorongkan lalu mereka menyirih bersama-sama. Sirih-pinang kemudian menjadi simbol persaudaraan dan rasa hormat.
Sebagai simbol persaudaraan dan rasa hormat pulalah, sirih-pinang hadir dalam hampir semua ritual masyarakat Nusantara. Senada dengan hal ini, Romo Keliek Prayogo, pendiri dan sesepuh Paguyuban Ajisaka, juga mengungkapkan, sebagai sarana ritual, sirih menyimbolkan cinta dan rasa hormat.
Itu sebabnya, sirih menjadi sarana wajib dalam ritual penghormatan terhadap leluhur. Dalam Paguyuban Ajisaka, sirih juga menjadi simbol rasa hormat dan ungkapan terima kasih dari seorang murid kepada guru setelah menerima ajaran.
Dalam sesajian sirih-pinang sebagai simbol persaudaraan dan rasa hormat juga terkandung pandangan orang Nusantara dalam relasi mereka dengan alam.
Berlainan dengan pemikiran Barat yang menjadikan alam sebagai objek yang harus ditaklukkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kepentingan manusia, orang Nusantara memahami bahwa keselarasan dan harmoni dengan alam merupakan sumber kebahagiaan manusia.
Bagi masyarakat Nusantara, manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam dan masyarakat. Sebab itu, manusia hanya dapat meraih kebahagiaan ketika mampu hidup selaras, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Alam tidak dianggap sebagai sesuatu yang asing dan penuh ancaman. Sebaliknya, orang Nusantara menekankan sikap akrab dan penghargaan yang tinggi terhadap alam. Bukan hanya manusia sebagai jagad cilik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam sebagai jagad gedhe, tetapi juga karena alam yang gumelar itu terkandung di dalam diri manusia.
Persembahan sirih-pinang dan sesajian lain pada umumnya menjadi sarana masyarakat Nusantara untuk menyelaraskan diri dengan alam. Manusia mengambil dari alam untuk hidupnya maka ia membuat persembahan sebagai ungkapan terima kasih pada alam.
Sesaji kemudian menjadi sarana komunikasi manusia dengan alam. Melambangkan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi kepada alam sebagai sumber kehidupan manusia.
Hidup selaras dengan sesama manusia dan alam bukan berarti kita bersikap pasif dan hanya mengikuti arus. Hidup selaras berarti bahwa kita menyadari hakikat dari kehidupan manusia yang saling bergantung.
Berbuat baik terhadap orang lain dan alam sama dengan berbuat baik terhadap diri kita sendiri. Demikian pula sebaliknya, kita tidak bisa menyakiti orang lain dan merusak alam, tanpa menyakiti dan merusak diri sendiri.
Baca juga: Suku Baduy, Kearifan Lokal dalam Menjaga Alam