Rahmah el-Yunusiah, Pejuang Muslim bagi Pendidikan Kaum Hawa

2511

1001indonedia.net – Rahmah el-Yunusiah (1900–1969) dikenal sebagai pejuang pendidikan dari tanah Minang. Rahmah memilih jalan lain untuk membela nasib kaumnya, dengan mendirikan sekolah yang diharapkan bisa menjadi wadah pengembangan intelektualitas kaum hawa. Tekad itu ia tanamkan sejak remaja. Meski tahu akan banyak yang ia korbankan, ikhtiarnya untuk bisa mengubah nasib perempuan lewat pendidikan, tak pernah surut.

“… Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya… Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adinda, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa,” tekad Rahmah suatu ketika (Burhanudin, ed., 2002: 1).

Rahmah el-Yunusiah lahir di Bukit Surungan, Padang Panjang, 29 Desember 1900. Keluarganya termasuk golongan terpandang, taat beragama, dan aktif dalam pembaruan Islam di tanah Sumatera Barat.

Ayah Rahmah, Muhammad Yunus (1846–1906), merupakan ulama besar pada zamannya. Selain dikenal sebagai ahli ilmu falak dan hisab serta hakim di Pandai Sikat, Yunus adalah pemimpin Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Sedangkan ibunya, Rafiah, adalah keturunan mamak Haji Miskin, sang pembaru gerakan Paderi.

Tekad Rahmah el-Yunusiah untuk mengubah nasib perempuan lewat pendidikan muncul kala mengetahui warga di tanah kelahirannya lebih mengutamakan pendidikan agama bagi anak laki-laki ketimbang perempuan. Cara pandangan seperti ini, bagi Rahmah, terasa amat timpang. Apalagi perempuan masih dianggap warga kelas dua dan hanya berperan di wilayah domestik, “sumur, kasur, dan dapur.”

Ingin keluar dari balutan pandangan dan perlakuan penuh ketimpangan itu, Rahmah mulai menyusun siasat untuk mendidik perempuan demi mengangkat martabat kaum hawa dan membebaskan mereka dari kebodohan serta keterbelakangan. Untuk mempromosikan rencananya itu, ia menemani pamannya, seorang pedagang yang sedang melakukan perjalanan ke Medan melalui Selat Malaka.

Dalam perjalanan itu, ia menjumpai setiap orang yang akhirnya memercayakan putrinya untuk ikut dengannya dan bersekolah di Padang Panjang, di lembaga pendidikan yang ia rintis (Vreede-de Stuers, 1960: 103).

“Pengetahuan dan kesadaran keagamaan tinggi yang dimilik Rahmah,” seperti ditulis Munawaroh, “telah membentuk visi perjuangannya dalam memberdayakan dan menjunjung tinggi kaum perempuan.” Ia menolak kesewenang-wenangan demi terwujudnya kebebasan. Kesempatan yang sama dalam mendapat pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah misi pendidikan Rahmah.

Berbekal ilmu yang ia peroleh dan pengalaman mengajar, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banat atau Perguruan Diniyah Puteri pada 1 November 1923. Kehadiran perguruan ini pun membawa perubahan penting bagi peta gerakan pemuda dan pelajar di Minangkabau.

Salah satunya ditandai dengan berdirinya Persatuan Murid Diniyah School (PMDS) Puteri di Minangkabau. Di tanah Minang, PMDS dikenal sebagai organisasi pemuda dan pelajar yang bertujuan mempersatukan para pelajar Muslim, memajukan pelajaran agama Islam, dan membantu masyarakat.

Sukses di Sumatera Barat, Rahmah melebarkan sayap perjuangannya dengan merintis lembaga pendidikan serupa di Jakarta, yakni Kwitang dan Tahan Abang pada 1935; kemudian di Rawasari serta Jatinegara pada 1950. Institusi-institusi itu didirikan agar perempuan memiliki akses yang sama ke dunia pendidikan, seperti halnya laki-laki.

Perjuangan Rahmah mendidik kaum perempuan bermaksud untuk membongkar cara pandang lama yang menempatkan mereka hanya di wilayah privat dan mengurus persoalan rumah saja. Baginya, posisi perempuan amat penting dalam mendidik dan mengendalikan generasi para penerus bangsa, ketimbang berkutat di wilayah domestik saja. Merekalah yang menjadi tumpuan pendidikan moral, agama, serta membentuk pribadi anak menjadi tangguh (Hamka, 1982: 245).

Berkat dedikasinya yang tinggi di bidang pendidikan, Rahmah mendapatkan gelar “Syaikhah” dari Syekh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas Al Azhar, Mesir, pada 1957. Gelar itu adalah yang pertama diraih perempuan Indonesia. Sementara dari dalam negeri, ia meraih anugerah “Bintang Mahaputera Adipradana” dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2013.

Rahmah el-Yunusiah adalah pejuang yang tak mudah puas dalam menimba pengetahuan serta menyiapkan sarana pendidikan bagi kaum perempuan dengan harapan agar mereka mampu bersaing, menjadi warga negara yang produktif sekaligus Muslim yang baik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

15 − 8 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.