Tolak Bala, Tradisi Masyarakat Nusantara Menangkal Marabahaya

1876
Upacara Belian Suku Petalangan Riau
Ilustrasi (Foto: goriau.com)

1001indonesia – Masyarakat tradisional di berbagai daerah di Nusantara memiliki caranya sendiri dalam menangkal marabahaya, yaitu melalui tradisi tolak bala. Kearifan lokal ini berangkat dari pemahaman bahwa jika ingin hidup selamat, manusia harus menjaga keselarasan dengan alam.

Mengakrabi alam

Bisa dilihat, praktik kehidupan masyarakat tradisional di pedesaan memiliki corak yang harmonis dengan alam. Masyarakat tradisional bahkan mengakrabi alam. Alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan dunia di mana manusia menjadi bagian darinya.

Sikap yang mengakrabi alam ini tampak dari pola hidup mereka yang bersahaja. Dari alam, mereka hanya mengambil seperlunya, tanpa merusak. Tanpa mengambil berlebihan, alam justru akan memberi banyak hal pada manusia.

Sebaliknya, cara hidup yang tidak selaras dengan alam hanya akan membawa keburukan pada manusia. Ketika alam rusak dan kotor yang diakibatkan oleh ulah manusia, bukankah manusia juga yang harus menanggung akibatnya.

Baca: Suku Baduy, Kearifan Lokal dalam Menjaga Alam

Kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari alam ini kemudian melahirkan berbagai sikap hidup dan kesadaran akan pentingnya menjaga keselarasan dengan alam. Upaya untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam menjadi bagian penting kebudayaan Nusantara, seperti dalam tradisi tolak bala.

Mungkin tradisi seperti ini akan dinilai tidak rasional oleh masyarakat modern. Rasanya tak masuk akal, berharap dapat mengatasi masalah atau musibah yang sedang dihadapi dengan menggelar upacara adat.

Memang tidak ada jaminan bahwa dengan menggelar upacara tolak bala, wabah penyakit akan hilang, bencana alam akan tidak terjadi lagi, musim kemarau yang berkepanjangan akan segera berakhir.

Namun, segala ritual itu menjadi sarana komunikasi manusia dengan alam. Bagi masyarakat Nusantara yang masih memegang ajaran leluhur, alam bukanlah objek mati yang bisa diperlakukan seenaknya. Alam adalah sesuatu yang hidup dan memiliki pengaruh yang timbal balik dengan kehidupan manusia.

Ritual tolak bala merupakan upaya manusia untuk menjaga keselarasan dengan alam. Sebagai upaya minta maaf jika mereka sudah melakukan sesuatu yang tidak selaras dengan alam, baik yang disengaja ataupun tidak. Sebagai ungkapan terima kasih atas berkah alam pada kehidupan mereka. Dan, sebagai harapan agar mereka terus diberi berkah yang sama di kemudian hari.

Selain itu, dengan mengakrabi alam, manusia menjadi lebih mampu membaca pertandanya. Alam berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai pertanda. Dengan membaca pertanda tersebut, manusia lebih bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi.

Tradisi tolak bala

Ada beragam tradisi tolak bala di Nusantara. Masing-masing daerah memiliki tradisinya sendiri. Meski demikian, tujuan utama dari upacara adat ini sama, yaitu untuk memohon keselamatan.

Umumnya, tradisi tolak bala dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat yang bersangkutan, bisa setahun sekali atau berkaitan dengan siklus pertanian. Meski ada juga yang dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Bentuk tradisi ini bermacam-macam, bahkan ada yang unik. Misalnya, di Desa Pelemsari, Kecamatan Sumber, Rembang, tradisi tolak bala dilaksanakan dengan upacara tawur nasi. Dalam upacara tersebut, para pemuda saling melempar nasi satu sama lain.

Di Banyuwangi, upacara tolak bala dilakukan dengan arak-arakan barong dan upacara kebo-beboan. Di Lombok, upacara memohon keselamatan dilakukan dengan perang api. Di Riau, Suku Petalangan mengadakan upacara belian untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang sakit. Di Jawa, orang-orang memohon keselamatan dengan upacara ruwatan.

Seiring perkembangan zamam, semakin banyak masyarakat Indonesia yang meninggalkannya. Modernitas tampaknya menggeser sikap hidup kita sehingga cara-cara tradisional tidak dilakukan lagi.

Namun, kita masih bisa belajar dari nilai yang dikandungnya, yaitu pentingnya manusia menjaga keselarasan dengan alam. Nilai itu yang menjadi inti beragam upacara tradisional masyarakat Nusantara. Tanpa itu, ritual yang dilaksanakan jatuh menjadi sekadar acara seremonial belaka.

Di sisi lain, kepercayaan berlebihan terhadap ritual ini, bahwa dengan melaksanakannya semua masalah akan selesai, juga tidak bisa dibenarkan. Diiringi dengan rasa berserah diri, masalah yang dihadapi tetap harus ditangani dengan cara-cara rasional dan tindakan nyata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

19 + 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.