Wayang Betawi atau Sandiwara Rakyat Betawi

oleh Siti Muniroh

3807

1001indonesia.net – Di Indonesia terdapat macam-macam pertunjukan seni wayang, di antaranya wayang kulit (Jawa, Bali, Lombok), wayang golek (Sunda), maupun wayang orang (Jawa). Di Betawi, atau Jakarta saat ini, juga ada wayang. Namun, wayang Betawi memiliki ciri yang berbeda dengan ketiga jenis wayang sebelumnya. Wayang Betawi lebih merupakan sandiwara rakyat.

Wayang adalah seni pertunjukan tradisional berupa drama yang khas. Seni ini meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan seni lainnya. Isi drama ini berupa penggambaran alam pikir orang Jawa yang dualistik; baik dan buruk, lahir dan batin, serta  halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk mendapat keseimbangan.

Penggambaran yang dualistik ini, selain berfungsi sebagai hiburan, juga ditujukan untuk beberapa hal; menjadi sarana pengendalian sosial, misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat  humor; sebagai sarana pendidikan sosial, seperti menanamkan solidaritas sosial; ada juga yang menjadikannya sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang adalah orang terpandang dan mampu menyediakan biaya besar.

Wayang Betawi

Namun, jenis wayang betawi, menurut senimannya dalam sumber yang penulis dapatkan, bukanlah wayang dalam pengertian umumnya. Wayang Betawi lebih merupakan teater rakyat. Setidaknya, ada 3 jenis wayang Betawi, yaitu Wayang Senggol, Wayang Sumedar, dan Wayang Si Ronda. Ketiga jenis wayang ini adalah bentuk lain dari kesenian Lenong.

Lenong merupakan seni teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi. Musik yang mengiringinya adalah gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.

Sebagaimana wayang pada umumnya, cerita dalam wayang Betawi juga berkisar soal pendidikan moral, seperti solidaritas kepada pihak yang lemah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) berdialek Betawi.

Menurut Firman Muntaco, seniman Betawi, lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan menjadi tontonan yang dikenal sudah sejak tahun 1920-an. Lawakan-lawakannya tanpa plot cerita yang tersusun hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk  yang mengalir dengan alur cerita yang utuh. Tambahnya lagi, mungkin oleh masyarakat Betawi, hal ini merupakan adaptasi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu.

Tontonan ini pun dipertunjukkan dengan cara mengamen ke kampung-kampung yang mempunyai lapangan terbuka. Saat pertunjukan berlangsung, salah seorang pemain mengitari penonton untuk meminta sumbangan secara sukarela.

Kesenian ini kemudian mulai mendapat tempat seperti panggung ataupun di suatu tempat tertentu saat salah satu masyarakat sedang berhajat dan menyewa mereka bermain. Barulah di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Ada dua jenis lenong, yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”) atau yang disebut juga komedi bangsawan, para pelakon biasanya berbusana formal. Kisah yang dilakonkan adalah tentang kehidupan kerajaan atau lingkungan para bangsawan.

Sedangkan dalam lenong preman, busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara. Umumnya, lenong preman berkisah tentang kehidupan sehari-hari.  Bahasa yang digunakan pun berbeda; lenong denes umumnya menggunakan bahasa halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Wayang Senggol

Wayang Senggol merupakan bentuk teater yang pernah populer di Kota Batavia (Betawi) sekitar tahun 1920–1930-an. Masa perkembangannya tidak terlepas dari awal perintisan teater modern Indonesia dan diawali oleh popularitas teater komedi bangsawan.

Wayang ini mirip dengan lenong denes (komedi bangsawan). Perbedaan yang mencolok terdapat pada cerita serta teknik perkelahian. Wayang ini membawakan cerita Panji dari Jawa Timur dan cerita Jaka Sembung. Gerak perkelahian di dalamnya lebih memperlihatkan gerak tari. Lantaran banyak adegan perkelahian dengan gerak tari, maka kontak badan pun dilakukan dengan senggolan. Inilah mengapa wayang ini disebut Wayang Senggol.

Pentas wayang ini digelar di atas panggung. Perlengkapan panggung mirip dengan yang digunakan lenong denes, yaitu dengan seben atau kain penutup di sebelah samping agar penonton tidak melihat ke belakang panggung. Layarnya diisi dengan lukisan bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan jalan cerita.

Alur pementasan lumayan lengkap yakni ada unsur musik, nyanyian, tarian, komedi, serta atraksi senggolan. Musik yang mengiringinya adalah musik Melayu iringan akordion dengan gaya zapin. Sebagai jenis lain dari lenong, kiranya cukup banyak budaya yang mempengaruhinya perkembangan teater ini, yaitu gaya teater Barat dengan perpaduan unsur Timur Tengah, Tionghoa, Betawi, dan Melayu.

Di tahun 1920-an dan 1930-an ini, pertunjukan wayang ini dapat dijumpai di Pasar Ikan (di bawah pimpinan Durahman), Krukut (pimpinan Pak Utan), di Pasar Baru (pimpinan Abdurahman), dan Karang Anyar (pimpinan Seng Lun).

Wayang Sumedar

Seperti Wayang Senggol, lakon yang disajikan adalah komedi bangsawan (seperti Jula-Juli Bintang Tiga, Saiful Muluk, dan Indra Bangsawan), namun jenis wayang ini biasanya hanya menggunakan layar polos yang dijadikan penghalang antara pentas dengan tempat duduk pemain di belakang panggung.

Di tempat duduk ini pula para pelakon merias wajah mereka dan menunggu giliran untuk dipanggil bermain. Wayang ini dianggap yang lebih mendekati lenong denes. Perbedaan di antara kedua Wayang Senggol dengan Wayang Sumedar adalah pada layar dan dekor. Layar Sementara wayang senggol penuh dengan lukisan-lukisan yang sesuai dengan alur cerita, layar wayang sumendar polos.

Juga seperti Wayang Senggol, wayang ini pernah berjaya sebelum Perang Dunia ke-2. Salah seorang tokohnya berasal dari Kebon Jeruk bernama Ahmad Batarfi. Sayang sekali pendokumentasian wayang ini tidak ada sehingga agak sukar mendeskripsikan secara lengkap bagaimana Wayang ini sebenarnya. Dengan begitu, sukar pula para seniman saat ini untuk memainkannya kembali dengan sentuhan-sentuhan gaya teater modern.

Wayang Si Ronda

Adapun wayang ini lebih menyerupai lenong preman. Mengenai hal ini, tidak ada pula dokumentasi yang menjelaskan tentang mana yang lebih dulu ada; Wayang Si Ronda atau lenong preman. Namun berbeda dengan lenong preman yang berpentas di atas panggung, Wayang Si Ronda berpentas di atas tanah.

Wayang Si Ronda menampilkan lakon sehari-hari dan lakon jago, yang dilengkapi humor dan nyanyian. Wayang Si Ronda pernah ada di daerah pinggiran Jakarta dan sekitarnya, seperti di Kelapa Dua, Depok, Parung, dan Tangerang.

Sumber:

  • https://asyarihafizh.wordpress.com/2015/06/19/budaya-betawi-yang-terlupakan/
  • http://shadows-puppets.blogspot.co.id/2002/07/pengertian-wayang.html
  • https://www.facebook.com/Refleksi.DaaiTv/videos/669371936496123/
  • http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3034/Sumedar-Wayang
  • http://lembagakebudayaanbetawi.com/artikel/seni-budaya/teater/wayang-tapi-bukan-wayang
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Lenong

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − one =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.