Tradisi Badha Kupat di Kudus Memang Beda

oleh Ayu Lestari

1904
Badha Kupat Kudus

1001indonesia.net – Tidak seperti di kota lain, tradisi lebaran ketupat di Kota Kudus berbeda. Tradisi yang oleh masyarakat lokal disebut Badha Kupat atau Badha Cah Cilik ini terhitung unik, terutama dari sisi waktu.

Perihal nama, Badha Kupat atau Badha Cah Cilik memiliki makna khas. Badha artinya lebaran atau hari raya Idul Fitri, sedangkan kupat sama artinya adalah ketupat. Keseluruhan makna kata Badha Kupat adalah lebaran atau hari raya yang menjadikan ketupat sebagai makanan sajian khasnya.

Kemudian cah cilik artinya adalah anak kecil. Makna Badha Cah Cilik adalah lebaran anak kecil. Disebut lebaran anak kecil karena saat lebaran ketupat ini, terdapat tradisi tukar-menukar uang yang diberikan oleh orang tua kepada anak kecil di sekitar lingkungannya.

Pada saat itu, para orang tua akan membagi-bagikan uang kepada anak kecil yang belum bisa bekerja di lingkungan sekitar. Semua anak kecil akan memperoleh sejumlah uang yang diberikan oleh para orang tua atau para tetangganya.

Pemberian uang ini sering disebut dengan sangu yang kemudian bisa dipergunakan untuk kebutuhan sang anak. Ada anak yang kemudian menabungkan uang sangu yang didapatnya. Ada juga anak yang kemudian membelanjakan uang tersebut di bulusan. Badha Kupat di Kudus memang bertepatan dengan tradisi Bulusan.

Bulusan adalah sebuah pasar rakyat yang berada di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Pasar rakyat ini hanya diadakan setahun sekali, tepatnya tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Ada pelbagai peralatan permainan anak-anak, peralatan sekolah, pakaian, sepatu, sandal, peralatan rumah tangga, hingga pernak-pernik khas Kudus dijual di pasar rakyat ini.

Waktu diadakannya lebaran ketupat di Kudus tidak seperti di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Jika lebaran ketupat di daerah atau kota lain berbarengan dengan hari raya Idul Fitri, di Kudus tidak. Lebaran ketupat di Kudus mengambil waktu tujuh hari atau seminggu setelah hari raya Idul Fitri pertama (H+7 lebaran). Tahun ini, lebaran ketupat di Kudus jatuh pada hari Minggu tanggal 2 Juli 2017.

Umumnya, ketupat memang disajikan pada hari lebaran. Namun, di Kudus berbeda, pada hari pertama lebaran, masyarakat masih memasak nasi. Baru pada hari ketujuh lebaran, masyarakat memasak dan menyajikan ketupat dengan segala macam lauk pelengkapnya. Ada sejarah di balik tradisi unik ini.

Sejarah Badha Kupat

Ketupat atau kupat di Jawa adalah makanan berbahan beras yang direbus dengan bungkus anyaman dari daun kelapa yang masih muda yang disebut janur. Umumnya, proses perebusan ketupat memerlukan waktu sekitar 4  jam. Menu pelengkapnya adalah opor ayam dan sayur lodeh.

Dalam bahasa Jawa, kupat berasal dari akronim ngaku lepat (mengaku kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Ngaku lepat diwujudkan dalam tradisi sungkeman atau memohon maaf kepada orang lain atas segala kesalahan yang pernah diperbuat. Tradisi ini mengajarkan pentingnya memaafkan, memohon maaf, silaturahmi, kebersamaan, dan penghormatan kepada orang yang lebih tua.

Sedangkan laku papat atau empat tindakan mencakup lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran mengandung arti bahwa pintu yang sudah terbuka lebar saat berakhirnya puasa Ramadhan. Luberan mengandung arti meluber atau melimpahnya sedekah sebagai simbol dari zakat fitrah yang harus dikeluarkan oleh setiap umat muslim. Leburan mengandung arti meleburnya dosa karena tindakan saling memaafkan antara satu orang dengan orang lain. Terakhir, laburan mengandung arti labur atau kapur yang berwarna putih menyiratkan hati yang kembali menjadi suci.

Lebaran ketupat yang waktunya berbeda dengan perayaan Idul Fitri sudah ada sejak masa Sunan Kalijaga. Lebaran tersebut berasal dari pesisir utara Jawa sebagai tempat awal penyebaran Islam di Jawa.

Sunan Kalijaga membagi lebaran atau badha menjadi dua, yaitu lebaran Idul Fitri dan Badha Kupat yang diadakan tujuh hari setelah lebaran Idul Fitri. Waktu ini dipilih untuk memperingati hari kemenangan setelah berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal.

Bersamaan dengan lebaran ketupat atau Badha Kupat, terdapat pasar rakyat Bulusan yang dijadikan tempat hiburan di Kudus. Mendatangi pasar rakyat ini sudah seperti keharusan bagi masyarakat setempat, terutama anak-anak kecilnya. Di pasar yang hanya ada sekali dalam setahun ini, mereka akan berbelanja atau jajan menggunakan uang yang mereka dapatkan selama Badha Kupat.

Sejarah Bulusan

Tradisi bulusan yang bertepatan dengan Badha kupat di Kudus memiliki sejarah unik. Bulusan sudah ada sejak tahun 1550 M. Pada saat itu, seorang ulama dari Mataram yang bernama Raden Sayyid Ahmad Khasan yang biasa disebut dengan Mbah Dudo atau Joko Samudro berniat mendirikan pesantren di kaki Gunung Muria.

Pada malam Nuzulul Qur’an, Sunan Muria mendatanginya untuk mengajak membaca Al-Qur’an bersama. Dalam perjalanannya, ia mendengar Umara dan Umari (murid Mbah Dudo) bekerja di sawah pada malam hari. Kemudian ia berhenti dan berucap, “Malam Nuzulul Qur’an kok tidak membaca Al-Qur’an malah di sawah berendam air seperti bulus.” Bulus dalam bahasa Indonesia adalah kura-kura.

Akibat ucapan tersebut, mereka berdua pun berubah menjadi bulus dan tidak bisa dikembalikan lagi ke wujud semula. Kemudian Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah, keluarlah mata air di sekitar bulus tersebut. Sambil meninggalkan tempat itu, Sunan Muria berkata kepada Mbah Dudo, “Besok anak cucu kalian akan menghormati mereka setiap satu minggu setelah hari raya bulan Syawal, tepatnya saat Badha Kupat.”

Begitulah awal tradisi Bulusan masyarakat Kudus yang masih lestari hingga saat ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.