Tiwah, Upacara Kematian Khas Masyarakat Dayak Ngaju

6753
Tiwah merupakan upacara pemakaman kedua dan menjadi akhir atau puncak rangkaian upacara kematian dalam kepercayaan Hindu Kaharingan.
Masyarakat Dayak Ngaju menggelar Tiwah sebagai upacara pemakaman kedua dan menjadi puncak rangkaian upacara kematian dalam kepercayaan Hindu Kaharingan. (Foto: www.indonesiawonder.com)

1001indonesia.net – Ritual tiwah adalah upacara adat kematian yang dilaksanakan penganut Hindu Kaharingan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Ritual ini bertujuan untuk mengantar arwah menuju tempat asal (lewu tatau) bersama Ranying (dewa tertinggi dalam kepercayaan Kaharingan).

Tiwah merupakan upacara pemakaman kedua dan menjadi akhir atau puncak rangkaian upacara kematian dalam kepercayaan Hindu Kaharingan. Sebelum upacara ini dilaksanakan, mayat orang yang meninggal terlebih dahulu dikubur di dalam peti kayu berbentuk lesung (raung), yang dianggap sebagai pemakaman sementara.

Satu atau beberapa tahun kemudian (lamanya tergantung kemampuan finansial keluarga yang ditinggalkan), diadakanlah upacara tiwah. Kerangka yang telah dikubur digali kembali untuk disucikan. Tulang belulangnya dibakar dan abunya ditaruh pada bangunan kayu yang disebut sandung. Bangunan tinggi yang dihiasi ukiran indah inilah yang dianggap sebagai makam yang tetap.

Sandung umumnya dibangun di pekarangan rumah. Dulu, bangunannya terbuat dari kayu ulin yang kekuatannya dapat bertahan hingga ratusan tahun. Seiring langkanya kayu ulin, saat ini sandung juga dibuat dari beton dengan cara dicor.

Bentuk sandung seperti rumah, tetapi ukurannya lebih kecil. Bangunan ini memiliki empat tiang penyangga terbuat dari kayu ulin dengan bentuk bulat. Tinggi sandung dari tanah dapat mencapai 2 meter. Di dalamnya, sering juga disertakan emas, cincin, piring, kain dan barang-barang berharga lainnya tergantung dari keinginan pihak keluarga yang menyelenggarakan acara.

Sandung biasanya dicat warna-warni. Warna-warna tersebut mengikuti ukiran-ukiran yang dibuat. Motif ukiran dapat berupa burung, tumbuh-tumbuhan, dan manusia.

Sandung
Sandung digunakan masyarakat Dayak sebagai tempat menyimpan tulang-tulang leluhur setelah melalui proses upacara Tiwah. (Foto: Istimewa)

Ritual tiwah sangat sakral dan penting dalam mengantar jiwa seseorang ke tingkat kehidupan selanjutnya. Masyarakat Dayak Ngaju percaya apabila mereka belum melakukan prosesi tiwah bagi keluarganya, arwah orang yang meninggal akan tetap berada di dunia dan tidak dapat menuju ke lewu tatau.

Itu sebabnya, bagi masyarakat Dayak Ngaju, mengadakan ritual tiwah wajib hukumnya, terutama apabila almarhum masih menganut kepercayaan Kaharingan.

Bagi sanak keluarga yang masih hidup, penyelenggaraan upacara tiwah merupakan perwujudan penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia. Sebelum almarhum diupacarakan, keluarga merasa masih memiliki utang berupa beban moral kepada almarhum.

Biasanya, upacara tiwah dilaksanakan setelah masa panen padi. Hal ini sesuai dengan irama kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Setelah panen, umumnya kegiatan pertanian berhenti untuk menunggu musim membuka hutan berikutnya sehingga masyarakat mempunyai waktu lebih untuk menyelenggarakan upacara.

Berbiaya Mahal

Pelaksanaan ritual tiwah berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Karena itu, upacara adat kepercayaan Kaharingan ini membutuhkan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk memenuhi persyaratan upacara sakral Tiwah, di antaranya untuk menyediakan makanan, hewan kurban, sesaji, dan juga membuat sandung. Biaya untuk membuat sandung saja bisa memakan biaya puluhan juta rupiah.

Bagi keluarga yang mampu, mereka dapat segera menyelenggarakannya begitu upacara-upacara awal selesai dilakukan. Sementara golongan yang ekonominya pas-pasan, ritual tiwah dilakukan setelah uang yang diperlukan untuk melaksanakannya terkumpul. Selang waktunya bisa setahun atau lebih, tergantung kemampuan ekonomi keluarga yang ditinggalkan.

Untuk menghemat biaya, keluarga yang kurang mampu bisa juga mengadakannya secara bersama-sama atau secara massal (handep). Beberapa keluarga mengumpulkan uang bersama untuk mengadakan upacara tiwah.

Biaya atau benda yang telah terkumpul (disebut laloh) akan diberikan kepada pemimpin penyelenggara (bakas tiwah) yang ditunjuk melalui rapat dan keputusan bersama para tetua dan penyelenggara upacara.  Tugasnya mengoordinasi semua rangkaian pelaksanaan upacara.

Yang memimpin pelaksanaan upacara tiwah adalah para belian, yaitu para tetua yang biasa memimpin upacara adat. Dalam upacara ini, belian menyanyikan kisah-kisah suci tentang asal-usul dan silsilah orang Ngaju, yang disebut sasana bandar. Nyanyian yang berlangsung berjam-jam ini dapat diiringi musik sejenis kendang dan gong.

Upacara adat tiwah merupakan salah satu tradisi penguburan yang unik dan berkembang menjadi warisan budaya masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Keberadaan upacara tiwah diyakini telah berlangsung sejak masa prasejarah hingga masa sekarang.

Selain di Kalimantan Tengah, ada beberapa tradisi pemakaman di Indonesia yang menonjol dan memiliki keunikan, di antaranya adalah Rambu Solo (tradisi penguburan masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan), Ngaben Trunyan (tradisi penguburan masyarakat Desa Trunyan di Bali), dan Mangokkal Holi (tradisi penguburan masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara).

Berbagai jenis tradisi pemakaman ini merupakan warisan budaya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan khas masyarakat Nusantara, yaitu penghormatan yang setinggi-tingginya pada arwah para leluhur.

Baca juga: Tjilik Riwut, Putra Dayak yang Menjadi Pahlawan Nasional

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 − ten =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.