Tari Kecak, Satu dari Sekian Keunikan Tradisi Bali

oleh Ach. Fadil

4523
Tari Kecak
Tari Kecak merupakan tari tradisional Pulau Bali yang mendunia. (Foto: kebudayaanindonesia.net)

1001indonesia.net – Salah satu kesenian tradisional paling populer di Bali adalah tari kecak. Pertunjukan tari yang diciptakan oleh Wayan Limbak bersama pelukis Jerman bernama Walter Spies ini sangat memukau penonton. Tak heran pertunjukan tari khas Bali yang dimainkan banyak orang ini terkenal hingga mancanegara dan menjadi ikon Pulau Bali.

Kesenian tradisional yang berkembang di satu masyarakat biasanya tak lepas dari unsur-unsur keagamaan atau kepercayaan. Satu kesenian terkadang dimaksudkan sebagai bagian ritus atau upacara keagamaan. Meski demikian, tak menutup kemungkinan ada kesenian yang hanya dimaksudkan sebagai pertunjukan yang menghibur.

Tari kecak merupakan perpaduan dua kesenian. Orang sering kali menyebut kesenian ini dengan sendratari (kesenian yang memadukan drama dan tari). Pada dasarnya, kesenian ini ingin mementaskan satu hikayat (cerita) yang biasa ditampilkan dalam drama (monolog atau dialog) melalui medium gerakan tari. Perpaduan ini menjadi keunikan tersendiri bagi tari kecak.

Penamaan pada tari kecak sendiri diambil dari suara (sekaligus menjadi musik) yang diteriakkan orang-orang dalam pertunjukan. Mereka mengelilingi penari sambil mengangkat kedua tangan dan menyuarakan bunyi “cak, cak, cak.”

Kemunculan dan Perkembangan

Tahun 1930 dijadikan sebagai penanda lahirnya kesenian ini berkat ide, inovasi, dan kreativitas dari seniman Bali bernama Wayan Limbak dan sahabatnya Walter Spies (pelukis asal Jerman) di Desa Bona, Gianyar. Dua orang inilah yang mula-mula berhasrat mencipta satu seni drama-tari yang dimodifikasi dari Tari Sanghyang. Tari yang disebut terakhir ini adalah ritus upacara keagamaan yang hanya dilakukan di Pura.

Kecak memang mengambil inspirasi dari Sanghyang. Namun, dua seniman tadi membuat kedua tari tersebut berbeda. Jika Tari Sanghyang dimaksudkan untuk upacara pembersihan (untuk mengeluarkan roh-roh halus dari desa-desa atau untuk menyembuhkan penyakit) di mana penarinya menari dalam kondisi tidak sadar karena kerawuhan (kemasukan roh halusuntuk menyampaikan keinginannya kepada masyarakat), tari kecak tidak demikian. Tari ini murni dimaksudkan sebagai pertunjukan.

Sebagai sebuah pertunjukan drama-tari, tari ini tidak memiliki pakem tertentu yang menjadi patokan gerak tariannya. Penari (sekaligus pemain drama) memiliki keluwesan dalam bergerak dan menari. Kecak tampak memfokuskan diri pada alur cerita yang hendak ditampilkan.

Biasanya cerita yang dipentaskan berkenaan dengan kisah pewayangan, khususnya Ramayana. Tidak heran kalau kemudian dalam pertunjukannya, penonton dimanjakan dengan cerita-cerita romantika cinta Sri Rama (Putra Kerajaan Ayodya) dan Dewi Sita; kelicikan Rahwana (raja Alengka) yang menculik Sita dari Sri Rama; atau juga keterlibatan barisan kera dengan panglimanya, Hanoman, yang membantu Sri Rama dalam melawan Rahwana.

Disisipkannya Epos Ramayana ke dalam Tari Kecak menunjukkan keluwesan tari yang juga disebut dengan The Mongkey Dance ini. Konsisten dengan prinsip ini, tahun 1976, Kecak Subali dan Sugriwa dicipta dan disisipkan ke dalam drama-tari itu. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1982, disisipkan pula Kecak Dewa Ruci. Dua-duanya dicipta oleh I Wayan Dibia. Sehingga cerita yang ada dalam Tari Kecak kini lebih variatif.

Keluwesan itu juga terlihat dari jumlah anggota yang pada umumnya berkisar antara 50-70 orang. Namun, pernah ada satu pertunjukan tari kecak di Bali yang mencapai 500 orang penari dengan mengangkat cerita Mahabarata sekitar tahun 1979. Namun jumlah ini telah dipecahkan oleh pemerintah Tabanan tahun 2006 yang menyelenggarakan Tari Kecak di Tanah Lot dengan jumlah anggota sangat fenomenal dan fantastis mencapai 5000 orang.

Pura Luhur Uluwatu
Pura Luhur Uluwatu

Tari Kecak sedari awal dicipta memang dibuat lebih lentur, dalam arti ia tidak terkait dengan upacara keagamaan, dan tempat pertunjukannya tidak harus di Pura. Karena itu, kesenian ini biasanya bisa digelar di mana saja, outdoor ataupun indoor.

Satu tempat yang sering digunakan sebagai pagelaran tari kecak adalah Pura Luhur Uluwatu, Desa Adat Pecatu, Kabupaten Badung, bahkan tempat ini menjadi favorit wisatawan yang hendak menyaksikan kesenian khas Pulau Dewata itu.

Pura Luhur Uluwatu panorama sunset yang sangat memukau sehingga menjadi tempat yang sangat spesial bagi para wisatawan.

Penyajian

Dupa dibakar menjadi pertanda akan dimulainya pertunjukan tari kecak. Para anggota yang sudah mengenakan kain poleng (kain bercorak kotak-kotak layaknya papan catur), kemudian memasuki arena pertunjukan. Mereka duduk melingkar sambil menyenandungkan suara “cak, cak, cak” yang menghipnotis penonton layaknya musik akapela pada umumnya.

Suara inilah yang menjadi latar musik dari tari kecak yang juga dipadu dengan gemerincing gelang yang dipakai di tangan dan kaki para pesertanya. Tak ada alat musik lain selain suara-suara itu. Suara-suara mereka, walaupun hanya menyuarakan suara “cak, cak, cak”, namun membentuk irama tersendiri. Ada yang menjadi pengatur nada serta penembang solo. Di lain pihak, ada seorang dalang (layaknya dalam pementasan drama) yang menjadi pengatur jalannya cerita yang hendak dibawakan.

Setelah itu, para penari mulai menari yang sekaligus menceritakan sebuah kisah (Ramayana, Mahabarata, Dewa Ruci, atau yang lainnya sebagaimana disebut tadi) dengan gerakan-gerakan yang menyesuaikan dengan alur cerita. Setiap gerakan memiliki maksud tersendiri.

Jika kostum yang dipakai para anggota (mereka yang melingkari penari) selalu bermotif kotak-kotak hitam putih yang dikenakan di pinggang dengan bawahan hitam, namun berbeda dengan para penarinya. Kostum penari biasanya menyesuaikan dengan alur cerita yang dibawakan. Jika cerita yang dibawakan Ramayana, maka kostum yang dikenakan adalah kostum layaknya Sri Rama, Dewi Sita, Rahwana, Hanoman (kera), dan seterusnya yang dilengkapi dengan aksesoris tersendiri.

Walaupun dimaksudkan sebagai seni pertunjukan, namun nilai-nilai sakralitas khas Hinduisme-nya masih ada. Adanya pembakaran dupa (sebagaimana disebut tadi) dan penyajian sesajen semakin menambah aura mistiknya, sekalipun tidak sesakral Tari Sanghyang.

Kemistikan itu juga bisa dilihat dari adanya atraksi kebal api (biasanya atraksi ini diperankan Hanoman saat membawakan cerita Ramayana) sebagai penanda adanya kerawuhan atau masolah. Sehingga penari yang melakukan atraksi tersebut, sama sekali tidak terbakar api. Karena itu pula, tarian ini sering kali disebut dengan fire dance.

Menyadari potensi yang dimiliki tari kecak sebagai kesenian yang bisa memberi sumbangsih besar kepada daerah, pemerintah daerah lalu menjadikannya sebagai ikon Pulau Dewata. Sejak tahun 1970-an, tari kecak menjadi lahan pendapatan pemerintah daerah melalui proses komersialisasi yang dilakukan kepada penduduk lokal maupun kepada turis-turis asing yang berlibur ke Bali.

Sumber:

  • Rebecca Well, “Tarian Tradisional dalam Masyarakat Jawa dan Bali,” ditulis atas kerja sama dengan ACICIS (Australian Consortium for In Country Indonesian Studies), Malang, Juni 2010.
  • Kompas.com, “Begitu Magis, Terhipnotis Tari Kecak di Pura Uluwatu,” 22 Juni 2016.
  • Kompas.com, “Cara Terbaik Menonton Tari Kecak di Uluwatu,” 09 November 2016.
  • http://www.rahasiaa.net/2014/01/sejarah-tari-kecak-bali.html
  • http://www.senitari.com/2015/07/tari-kecak-sejarah-gerakan-kesenian-tradisional-bali.html

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 + two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.