Royong, Sastra Lisan Asal Makassar yang Terancam Punah

4100
Tradisi Lisan Royong
Suasana latihan melantunkan royong diiringi musik (gendang dan pui-pui) di Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan. (Foto: tribunnews.com)

1001indonesia.net – Keberadaan tradisi lisan royong asal Makassar, Sulawesi Selatan, terancam punah. Kelestarian puisi-puisi kuno yang mengandung kekayaan bahasa dan kedalaman makna itu tergerus karena tidak lancarnya proses regenerasi.

Untuk itu, Sibo Daeng Ratang, seorang perempuan pelantun royong dari Desa Tindang, Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, membuka kaderisasi agar seni warisan leluhur itu diteruskan oleh generasi mendatang.

Ratang adalah seorang pelantun royong, atau yang biasa disebut paroyong dalam bahasa Makassar. Ia mewarisi keterampilan itu dari kedua nenek dari garis keturunan ayah dan ibunya, yang juga merupakan paroyong. Royong hanya dilantunkan oleh perempuan.

Royong adalah sastra lisan yang hanya dilantunkan oleh penutur bahasa Makassar dahulu kala. Lantunan ini bermakna doa atau pengharapan antara dunia atas dan dunia bawah yang disampaikan melalui nyanyian.

Royong ditampilkan dalam ritual adat ataupun momen-momen penting siklus kehidupan seseorang, seperti akikah, sunatan, dan pernikahan. Lantunan puisi itu diiringi tabuhan gendang dan pui-pui (suling khas Makassar). Pemilik hajatan juga menyediakan sejumlah barang dalam takaran tertentu, seperti beras, kelapa, gula merah, lilin, kemenyan, daun sirih, dan gabah.

Royong sendiri terbagi menjadi 2 jenis. Pertama, royong yang khusus dilantunkan untuk pertunjukan. Kedua, royong yang bersifat sakral. Jenis kedua ini hanya bisa dilantunkan pada tempat dan waktu tertentu dengan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi.

Apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka paroyong tidak akan melantunkannya. Jika tetap dibacakan tanpa syarat yang lengkap, maka yang punya hajatan akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, seperti kesurupan.

Royong dilantunkan dalam bahasa Makassar tua yang sebagian besar kosakatanya bersifat arkais atau sudah jarang digunakan lagi, bahkan cenderung tak dipahami artinya, oleh kebanyakan penutur bahasa Makassar saat ini. Tradisi ini pun diyakini sebagai salah satu warisan yang berakar pada masa pra-Islam.

Konon, sastra lisan ini berasal dari zaman Tumanurung, pendiri kerajaan Gowa pada sekitar tahun 1300-an. Tumanurung diyakini sebagai seorang putri yang turun dari langit bersama dengan dayang-dayangnya. Dayang-dayang tersebutlah yang melantunkan royong saat Tumanurung menikah dengan suaminya, Daeng Bayo.

Royong berisikan syair-syair doa keselamatan atau riwayat tokoh. Ada beberapa judul royong, di antaranya “Cui” yang dilantunkan saat akikah dan “Lolo Bayo” yang dilantunkan saat momen sunatan dan pernikahan.

Syair dilafalkan secara mengalun seperti orang bersenandung. Kadang sebuah sukukata dilantunkan dengan intonasi sangat panjang, kadang pula sangat pendek.

Kendala Pelestarian

Saat ini, sastra lisan royong hampir mengalami kepunahan. Penyebab awalnya adalah para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upacara daur hidup secara tradisional, tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam.

Dengan demikian, kehadiran royong sebagai media permohonan doa tidak lagi dibutuhkan sehingga secara perlahan-lahan sastra royong sangat jarang dituturkan lagi.

Mungkin inilah yang menyebabkan sangat sedikitnya jumlah paroyong yang tersisa, yang sebagian besar telah berusia lanjut. Sehingga, meski permintaan untuk maroyong tidak lagi sebanyak dulu, Ratang merasa bahwa permintaannya masih tinggi.

Bukan hanya di Kabupaten Gowa, Ratang kerap memenuhi permintaan untuk maroyong ke sejumlah daerah lain di Sulawesi Selatan. Bahkan, warga Makassar yang tinggal di Kalimantan dan Sulawesi Tenggara pun kerap mengundang Ratang untuk maroyong jika menggelar hajatan. Fakta ini menandakan sangat sedikitnya jumlah paroyong yang tersisa.

Penyebab lain sedikitnya jumlah paroyong adalah ruang regenerasi yang sangat sempit. Paroyong umumnya bersikap tertutup dan memegang kepercayaan bahwa keahlian ini hanya dapat diwariskan kepada keturunan perempuan dalam garis darahnya sendiri.

Hal ini tentu menjadi problem bagi keberlangsungan royong jika kebetulan paroyong tersebut tak memiliki keturunan perempuan atau keturunannya tak berminat mempelajarinya. Tongkat estafet regenerasi royong pun dapat terputus.

Perkara inilah yang dihadapi Ratang sekarang. Dia belum dikaruniai anak. Di sisi lain, Ratang berpandangan bahwa budaya ini harus dilestarikan dan diteruskan agar tidak hilang ditelan zaman.

Karena itu, Saat Badan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Balai Bahasa Sulsel mengadakan program revitalisasi royong di Rumah Hijau Denassa, Ratang mengungkapkan kesediaannya menjadi guru.

Ratang melatih dan mengajarkan ilmu royong kepada 15 remaja putri yang tertarik menekuni keterampilan itu dalam lokakarya selama tiga hari. Ia membuka diri pada generasi muda yang datang untuk menimba ilmu royong padanya.

Ia juga menjadi narasumber utama saat sejumlah judul sastra lisan itu didokumentasikan secara tertulis. Hal tersebut ia lakukan demi kelestarian sastra lisan tersebut untuk generasi-generasi selanjutnya.

Sumber:

  • M. Final Daeng, “Regenerasi Seni Royong,” Kompas, Kamis, 29 Desember 2016.
  • http://makassar.tribunnews.com/2016/08/16/gelar-festival-royong-nyanyian-di-masa-raja-gowa-pertama-mengalun-di-rhd

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 + eleven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.