Dhandhangan, Tradisi Menyambut Bulan Suci Puasa di Kudus

1892
Tradisi dhandhangan menyambut bulan suci puasa di Kabupaten Kudus.
Tradisi dhandhangan menyambut bulan suci puasa di Kabupaten Kudus. (Foto: hanggarablack.blogspot.co.id)

1001indonesia.net – Kota Kudus di Jawa Tengah memiliki tradisi khusus menjelang bulan Ramadhan yang disebut tradisi dhandhangan atau dandangan. Konon tradisi ini sudah berlangsung sejak masa hidup Sunan Kudus atau peralihan dari era Hindu ke Islam.

Tradisi dhandhangan berawal dari pengikut Sunan Kudus saat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka datang ke masjid untuk mendengarkan pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus dan menunggu bedug di menara masjid ditabuh sebagai penanda datangnya bulan puasa.  Suara tabuhan beduk yang berbunyi “dang dang dang” itulah kemudian menjadi asal nama dhandhangan.

Kebiasaan ini kemudian diteruskan hingga kini berupa keramaian pasar malam. Para pedagang akan meramaikan lokasi sekitar kompleks Masjid Menara Kudus dan Simpang Tujuh. Mereka menjual makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya.

Tradisi dhandhangan juga diramaikan dengan kirab yang menampilkan berbagai budaya beberapa desa di Kudus dengan rute melalui jalan-jalan protokol kota itu. Setibanya di alun-alun, peserta kirab memperagakan adegan yang menceritakan perkembangan Islam secara sederhana. Tabuhan bedug yang dilakukan oleh pejabat instansi terkait mengakhiri acara sekaligus sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.

Sunan Kudus

Masjid Menara Kudus merupakan peninggalan Sunan Kudus yang masih terawat dan aktif digunakan masyarakat hingga saat ini. Di kompleks masjid ini terdapat makam Sunan Kudus yang ramai dikunjungi para peziarah, terutama pada bulan Ramadhan.

Sunan Kudus semula bernama Ja’far Sidiq atau Raden Undung. Ia merupakan salah satu dari Wali Sanga. Sunan Kudus dikenal sebagai wali yang memiliki banyak ilmu, seperti ilmu tauhid, hadis, tafsir, fiqih, sampai sastra. Sebab itu, beliau disebut juga sebagai “Waliyul Ilmi”.

Saat menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus sangat berhati-hati karena pada masa itu masyarakat umumnya adalah pemeluk agama Hindu. Salah satu contohnya, beliau membuat kebijakan agar masyarakat Kudus tidak memakan daging sapi karena hewan ini dihormati oleh umat Hindu. Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi daging kerbau. Hal ini menjadi kebiasaan sampai sekarang. Bisa kita lihat dari masakan khas Kudus, seperti soto dan sate, yang terbuat dari daging kerbau.

Demikian juga dengan tempat ibadah. Menara Kudus yang berbahan batu bata merah memiliki bentuk yang mengingatkan kita akan bentuk candi. Dengan tinggi 17 meter, menara ini menjadi ciri khas masjid dan kompleks makam Sunan Kudus sehingga bernama Masjid Menara Kudus.

Ada beberapa versi cerita mengenai sejarah menara ini. Ada yang beranggapan menara itu bekas candi, tempat pembakaran jenazah para raja Majapahit. Ada juga yang beranggapan sebelum dibangun menara, lokasi itu adalah sumber air yang ditutup para wali.

Menara di Masjid Kudus ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 1549 dan mengalami renovasi pada 1685. Setelah itu, kompleks Masjid Menara Kudus telah beberapa kali mengalami perbaikan. Pada perbaikan tahun 1977, bangunan masjid berubah menjadi bangunan modern dengan kapasitas mencapai 500 jemaah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 − 4 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.